Suasana pagi di Bandara Soekarno-Hatta begitu ramai. Di antara deretan calon jamaah yang mengenakan pakaian ihram, ada wajah-wajah baru yang tampak sedikit berbeda. Mereka tidak berangkat dalam rombongan besar, tak ada banner travel yang dikibarkan, dan tak ada tour leader yang memanggil nama-nama peserta. Mereka adalah jamaah umroh mandiri — generasi baru umat Islam Indonesia yang memilih menjalankan ibadah dengan cara mereka sendiri.
Salah satunya adalah Bu Nurhayati (52 tahun), guru pensiunan dari Semarang. “Saya sudah dua kali ikut travel,” ujarnya dengan senyum hangat. “Tapi kali ini saya ingin mencoba berangkat sendiri. Saya ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa mandiri, asal tahu caranya dan tetap sesuai aturan.”
Keputusan Bu Nur bukan tanpa persiapan. Ia memulai riset sejak berbulan-bulan sebelumnya — mulai dari mencari tiket pesawat promo, memesan hotel di Makkah, hingga mengurus dokumen perjalanan melalui penyedia jual visa umroh mandiri yang legal dan terpercaya. “Saya pastikan dulu agennya terdaftar di Kemenag,” katanya. “Kalau urusan ibadah, nggak boleh coba-coba.”
Perjalanan seperti ini kini makin banyak dilakukan oleh jamaah Indonesia. Tren umroh mandiri tumbuh pesat seiring berkembangnya teknologi digital dan kemudahan akses informasi. Banyak calon jamaah merasa lebih leluasa mengatur jadwal, memilih hotel sesuai anggaran, dan bahkan memperpanjang masa tinggal untuk berziarah atau beribadah lebih lama.
Namun, kebebasan itu tentu datang dengan tanggung jawab besar. Karena menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh, pelaksanaan umroh — termasuk yang dilakukan secara mandiri — tetap wajib mengikuti ketentuan resmi pemerintah. Setiap jamaah harus memiliki visa umroh mandiri yang diterbitkan secara sah oleh otoritas yang berwenang, bukan visa turis atau ziarah.
Pasal-pasal dalam undang-undang itu menegaskan bahwa meskipun jamaah bisa mengatur sendiri perjalanan dan akomodasinya, mereka tetap berada dalam pengawasan administratif Kementerian Agama. Tujuannya bukan untuk membatasi, melainkan untuk melindungi jamaah dari risiko penipuan, overstay, dan masalah hukum di Arab Saudi.
Kisah inspiratif lain datang dari dua sahabat muda, Hilmi dan Arif, mahasiswa tingkat akhir dari Bandung. Mereka memutuskan berangkat umroh mandiri dengan uang hasil kerja sampingan sebagai fotografer pernikahan. “Kami ingin berangkat dengan hasil keringat sendiri,” kata Hilmi. “Awalnya takut, tapi ternyata banyak panduan yang bisa diikuti asal kita disiplin.”
Keduanya membeli tiket secara daring, menyewa penginapan sederhana tak jauh dari Masjidil Haram, dan mengurus visa melalui penyedia jual visa umroh mandiri resmi. Mereka belajar cara membuat itinerary, menghitung biaya hidup di Tanah Suci, hingga mencari tahu transportasi publik di Makkah dan Madinah.
“Yang paling menakjubkan,” kata Arif, “bukan cuma bisa umroh, tapi prosesnya. Dari cari info, menabung, sampai akhirnya berdiri di depan Ka’bah — itu pengalaman spiritual yang nggak bisa dibeli.”
Tren ini menunjukkan perubahan besar dalam cara jamaah Indonesia memandang perjalanan ibadah. Dahulu, banyak yang merasa harus selalu bergantung pada biro travel. Kini, dengan literasi digital yang meningkat, jamaah mulai berani mengambil peran aktif dalam setiap aspek perjalanannya.
Meski begitu, pemerintah tetap mengingatkan agar umroh mandiri tidak dijalankan sembarangan. Jamaah disarankan memastikan semua dokumen sesuai syarat — mulai dari paspor, vaksinasi, asuransi perjalanan, hingga visa umroh mandiri yang diterbitkan oleh lembaga resmi. Semua itu menjadi pondasi agar ibadah berjalan lancar, tanpa kendala administratif maupun hukum.
Bu Nur, yang kini sudah kembali ke Indonesia, menceritakan bagaimana pengalaman umroh mandiri-nya mengubah cara pandangnya terhadap ibadah. “Saya jadi lebih menghargai setiap detik di Tanah Suci,” katanya. “Karena saya sendiri yang mengatur semuanya, saya tahu betapa setiap langkah ke Ka’bah penuh perjuangan.”
Ia juga berpesan kepada jamaah lain yang ingin mencoba hal serupa. “Mandiri boleh, tapi jangan nekat. Pastikan semua legal dan sesuai syariat. Jangan tergiur harga murah kalau tidak jelas izinnya.”
Perjalanan Bu Nur dan para jamaah lain membuktikan bahwa umroh mandiri bukan hanya tren gaya hidup modern, tapi juga refleksi kedewasaan iman. Mereka bukan sekadar ingin hemat, tapi juga ingin terlibat penuh dalam perjalanan spiritual mereka.
Kini, banyak platform digital dan penyedia jual visa umroh mandiri yang hadir membantu jamaah menjalani proses ini dengan lebih mudah dan aman. Dengan dukungan regulasi dari UU Nomor 14 Tahun 2025, pemerintah Indonesia pun semakin membuka jalan agar umat bisa beribadah secara mandiri tanpa kehilangan aspek keamanan dan ketertiban.
Akhirnya, umroh mandiri bukan lagi sekadar opsi alternatif. Ia telah menjadi simbol semangat baru — semangat untuk beribadah dengan kesadaran, belajar dari pengalaman, dan menemukan makna kemandirian dalam langkah menuju Baitullah.
Karena pada akhirnya, yang benar-benar mandiri bukanlah mereka yang berangkat tanpa bimbingan, melainkan mereka yang berjalan dengan niat tulus, ilmu yang cukup, dan izin yang sah di mata manusia dan Allah سبحانه وتعالى.